Niteni, Nirokke, Nambahi dan Nemokke

Adaptasi dalam ilmu manajemen modern dikenal dengan istilah yaitu ATM (Amati, Tiru dan Modifikasi). Perusahaan besar seperti Wings juga melakukan ATM. Wings juga memproduksi daily consumer goods yang bersifat me-too products dari Unilever. Wings berusaha memenangkan market share dengan menjual competitive advantages dari setiap produk. Metode ATM bertujuan menambahi atau memperkuat added value produk. Orang Jawa juga melakukan ATM dengan filosofi 4N yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi dan Nemokke.

Filosofi 4N (Niteni, Nirokke, Nambahi dan Nemokke) juga dilakukan pada kesenian wayang. Orang Jawa melakukan ATM pada wayang yang merupakan bentuk kesenian jawa  adiluhung. Model ATM ini menjadi proses adaptasi agar dapat diterima masyarakat dan demi kepentingan yang berbeda. Pada awalnya, Filosofi 4N (Niteni, Nirokke, Nambahi dan Nemokke) digunakan untuk penetrasi agama Hindu dan Budha. Para Empu yang menggubah kisah Mahabarata sejak zaman kerajaan Kediri sampai Majapahit. Apalagi, Kisah wayang digubah lagi oleh para wali dan pujangga mataram Islam untuk dakwah Agama Islam. Empu, Pujangga dan Wali memang manusia yang genius. Mereka melakukan adaptasi sesuai dengan sosial dan kemasyarakatan. Penyebaran agam yang selaras dengan masyarakat menjadi efektif. Filosofi Jawa 4 N (Niteni, Nirokke, Nambahi dan Nemokke) membuktikan bahwa “yang paling adaptif yang menjadi pemenang”

Kisah wayang berisi berbagai filosofi hidup manusia. Wayang ternyata bukan asli kebudayaan jawa namun adaptasi dari kebudayaan India. Secara umum, Kisah wayang berasal dari dua babad utama yaitu Mahabarata dan Ramayana. Proses adaptasi dilakukan sejak zaman Majapahit oleh para Pandhita dan Empu. Empu Sedah mengadaptasi kisah Mahabarata versi India agar dapat diterima rakyat Majapahit untuk kepentingan pengembangan ajaran Hindu. Adaptasi dilanjutkan pada era Mataram Islam untuk dakwah Islam. Para Pujangga menghubungkan silsilah Raja Jawa (baca : Mataram Islam) dengan Raja Parikesit dan Nabi Muhammad SAW. Raja Parikesit merupakan Raja terakhir dari keturunan Pandawa. Sunan Kalijaga melakukan dakwah dengan menjadi dalang dengan kisah wayang yang telah digubah sesuai dakwah Islam. Pujangga Ronggowarsito, mempelopori kisah wayang gagrak Surakartan dan Yogyakartan. Adaptasi ini menghasilkan perbedaan tokoh wayang seperti dewaruci, kisah punakawan, antareja antasena dan drupadi.

Dewa Ruci adalah Penokohan dalam kisah wayang sebagai seorang dewa bertubuh kerdil. Bima melakukan sebuah perjalanan mencari air kehidupan kemudian bertemu dengan Dewa Ruci. Kisah ini berisi ajaran moral dan filsafat hidup jawa. Kisah Dewaruci tidak ada di naskah asli Mahabharata dari India. Kisah mengenai kepatuhan murid kepada guru. Sang murid berjuang menemukan jatidiri secara mandiri. Menurut filsafat Jawa, Manusia yang telah menemukan jati diri akan mengetahui asal-usul diri sebagai makhluk Allah SWT kemudian menimbulkan hasrat untuk bertindak selaras dengan kehendak Tuhan yang bermuara penyatuan dengan Tuhan. Ini disebut sebagai Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya Manusia dan Allah SWT). Ini merupakan ajaran tasawuf Islam yaitu tentang Makrifat. Kisah Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang dan para pencerita masa kini merujuk pada tulisan Yasadipura I ( guru Ranggawarsita) dari Surakarta, yang hidup pada masa Pakubuwono III (1749–1788) dan PakuBuwono IV.

Punakawan menjadi pengikut dari Arjuna atau Janaka. Setiap Ksatria pewayangan memiliki pengikut untuk menguatkan eksistensi ksatria. Punakawan muncul pertama kali pada Karya Sastra Ghatotkacasraya, karangan Empu Panuluh yang ditulis di zaman Kerajaan Kediri.  Punakawan terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Punakawan berperan sebagai teman atau sahabat (pamong) yang cerdik, dapat dipercaya, berpandangan dan pengamatan yang tajam. Semar sebagai pemimpin Punakawan merupakan titisan batara Ismaya. Perang Baratayudha tanpa kehadiran Punakawan bagai “Sayur tanpa Garam”. Pementasan Wayang selalu ada plot khusus buat Punakawan yaitu “Goro-Goro”.

Tokoh Antareja merupakan tokoh ciptaan para pujangga Jawa.Dikisahkan, Antareja merupakan putra sulung Werkudara  Kisah Wayang klasik versi Surakarta menyatakan bahwa  Antareja alias Antasena namun Antareja menjadi kakak dari Antasena dari ibu yang berbeda pada kisah wayang versi Yogyakarta. Antareja menjadi raja di Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Antareja meninggal dunia dengan menjilat telapak kkaki sebagai tabuk tawur (tumbal kemenangan) keluarga Pandawa dalam Perang Baratayudha atas perintah Prabu Kresna. Kematian Antareja memang disengaja oleh para pujangga Jawa karena dalam kisah Baratayuda.

Kisah Drupadi berbeda dengan Kisah Wayang dari India. Drupadi melakukan Poliandri pada kisah wayang India. Jadi, Drupadi memiliki suami lima orang yaitu Pandawa Lima (Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa). Drupadi hanya memiliki satu suami saja yaitu Yudistira pada kisah wayang Jawa. Praktek Poliandri tidak diperkenankan dalam budaya Jawa maka Drupadi hanya memiliki satu suami saja. Ini salah satu model adaptasi kisah wayang Jawa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *