Novel Bumi Manusia merupakan karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Saya menyebut Pramoedya Ananta Toer dalam artikel ini dengan panggilan “Eyang Pram”. Bumi Manusia menjadi masterpiece eyang pram di dalam “Tetralogi”. Eyang Pram memang produktif untuk menghasilkan ratusan karya sastra yang berkualitas. Tetralogi termasuk paling unggul. Tetralogi terdiri dari empat karya yang bersambung dengan urutan sebagai berikut Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Jadi, Bumi Manusia merupakan bagian pertama dari Tetralogi tersebut.
Eyang Pram menceritakan kisah hidup seorang tokoh utama yaitu Minke di dalam tetralogi ini. Ternyata, Minke tersebut bukan tokoh khayalan tetapi nyata meskipun kisah merupakan imajinasi. Minke adalah tokoh yang berjasa di dunia jurnalistik Indonesia. Tokoh ini diceritakan sebagai tokoh yang idealis, pintar dan pemberani. Dia memilih jalan terjal untuk melawan penjajahan daripada hidup nyaman sebagai bangsawan jawa. Tokoh ini bernama Raden Tirto Adi Suryo (RTAS). Eyang Pram mampu merangkai kisah yang panjang tanpa kehilangan intensitas. Hal ini bukti bahwa Eyang Pram itu seorang sastrawan yang unggul.
Tokoh Minke menempuh pendidikan di HBS Surabaya dengan setting awal tahun 1900-an. Minke adalah anak Bupati Blora. Minke berasal dari kaum ningrat/bangsawan kecil dari daerah. Minke tinggal di sebuah kos yang berada daerah Tulangan Wonokromo Surabaya ketika belajar di HBS Surabaya. Minke bersinggungan dengan Nyai Ontosoroh. Wanita tersebut menjadi simpanan Tuan Mellema. Tuan Herman Mellema adalah insinyur yang berstatus perwira di Angkatan Laut Belanda. Tuan Mellema dan Nyai Ontosoroh memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Annelies. Sayang, Nyai Ontosoroh hanya istri simpanan maka tidak boleh menyandang nama Nyonya Mellema.
Kondisi sosial masyarakat terlihat tidak ada masalah meskipun Belanda berkuasa di Nusantara. Masyarakat plural yang terdiri orang eropa, orang china, orang arab dan pribumi menjalani hidup normal bahkan cenderung aman dan tentram. Ibarat pepatah, Air permukaan yang tenang menjadi tanda bahwa di bawah permukaan mengalami arus yang deras. Kondisi ini terjadi di masa penjajahan. Masyarakat disusun berdasarkan kelas sosial. Kelas sosial masyarakat tertinggi ditempati orang Belanda asli/totok. Kelas sosial menengah diisi oleh orang China dan orang Arab. Masyarakat pribumi berada di kelas sosial terendah. Wanita yang menjadi istri simpanan orang Belanda lebih mengenaskan karena berada di bawah kelas paling bawah sekalipun.
Pada mulanya, Minke mengagumi kemajuan atas bangsa barat. Minke mempunyai pemikiran bahwa Jawa mengalami modernisasi atas jasa bangsa eropa. Ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan dan berkembang di tanah jawa. Minke menyambut penobatan Ratu Belanda dengan suka cita. Bangsa Barat (baca: Belanda) berhasil menciptakan hegemoni budaya sehingga pribumi hanyut secara tidak sadar. Minke mulai mengalami perubahan pemikiran setelah pernikahannya dengan Annelies. Pernikahan tidak diakui oleh pemerintah Belanda karena perbedaan kelas sosial.
Annelies merupakan hasil hubungan dari Tuan Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh. Ternyata, Pemerintah Hindia Belanda hanya mengakui bahwa Annelies sebagai anak Herman Mellema. Nyai Ontosoroh tidak diakui sebagai Ibu dari Annelies karena hanya seorang pribumi. Nyai Ontosoroh yang pandai, cakap dan kaya raya harus kehilangan harta. Pemerintah Belanda berdalih bahwa seorang pribumi tidak bisa mewarisi harta dari suami yang orang eropa. Pemerintah Belanda tidak mengakui pernikahan Minke dan Annelies membuat luka lebih perih. Pribumi hanya manusia kelas tiga sehingga tidak berhak menikahi orang eropa/Belanda. Ini masalah perbedaan kelas sosial.
Minke mempunyai pertanyaan, “Mengapa pribumi tidak bisa menjadi tuan di tanah kelahiran sendiri?”.Minke marah karena menyakini bahwa semua manusia di atas bumi itu sederajat. Manusia hidup di bumi yang sama memiliki hak yang sama. Kemudian, Minke dan Nyai Ontosoroh melakukan perlawanan melalui pengadilan. Persidangan dicatat sebagai perlawanan pribumi atas pemerintah belanda yang pertama kali pada masa kekuasaan Pemerintah Belanda di Nusantara. Minke juga melakukan perlawanan di jalur media. Perlawanan melalui jalur hukum dan media menjadi sia-sia.
Koneksi Minke yang begitu luas baik dari Pribumi dan Orang Belanda tiada guna. Nyai Ontosoroh dan Minke hanya Pribumi yang memiliki kelas sosial terendah di rumah sendiri. Interaksi Nyai Ontosoroh dan Minke memberi pengalaman yang membekas. Minke berpikir betapa hina dari harga diri pribumi di depan Belanda. Hukum pemerintah Belanda memperlakukan pribumi secara semena-mena. Seperti ucapan Tuan Asisten Residen Wilayah B, “Tahukah kalian apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini? Seorang Pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali”.
Minke berubah pikiran bahwa kemajuan dan kemakmuran hanya semu di pulau jawa. Semua ini merupakan penjajahan atas harga diri sebuah bangsa. Minke menjadi pribadi yang mandiri dan bebas. Dia menjadi “Bumi Manusia” yang sederajat dengan bangsa lain. Pemerintah Orde Baru ( 1980) melarang peredaran buku ini karena disinyalir mengajarkan Marxisme & Leninisme. Buku ini sudah terjual 22000 eksemplar pada tahun 1980 tetapi pemerintah hanya mampu menarik 5000 eksemplar dari pasar. Buku ini sudah dijual bebas.