Mitos dan Logika

Manusia berpikir merupakan fitrah dari Allah SWT. Manusia berpola pikir sederhana dan menuju berpikir kompleks itu berbanding lurus dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan. Masyarakat tradisional berpikir empiris secara sederhana yang terakumulasi menjadi mitos. Mitos bertransformasi menjadi logika pada masyarakat modern. Masyarakat modern menggunakan logika daripada mitos.

Mitos itu bukan sesuatu yang buruk karena disebabkan keterbatasan ilmu saja. Masyarakat memahami fenomena alam secara mitologi pada awalnya. Mitos bersifat asumtif, eksklusif dan lokal. Mitos itu bisa jadi bersifat local wisdom yang berpotensi untuk mengembangkan masyarakat. Salah satu contoh mitos yaitu “penguasa” laut selatan dan “penguasa” gunung merapi di daerah Jogja. Masyarakat Jogja mempercayai mitos mengenai “Penguasa Laut Selatan dan Penguasa Gunung Merapi”. Masyarakat memahami bahwa Laut Selatan dan Gunung Merapi berkaitan karena tempat tinggal mereka dijepit oleh dua fenomena alam tersebut. Apabila terjadi suatu kejadian alam di Laut Selatan maka mempengaruhi aktivitas gunung merapi.

Masyarakat Jogja belum mengenal ilmu bumi, oseanografi dan apalagi vulkanologi ketika masih tradisional. Hal itu menimbulkan kekosongan logika yang diisi oleh mitos. Mitos ini beredar secara mulut ke mulut menjadi lebih sensasional yang lengkap dengan “mistifikasi”. Mitos tersebut bertujuan agar masyarakat hidup damai dan tentram ketika “berdampingan” dengan dua fenomena alam. Masyarakat mengusahakan cara hidup berdampingan secara fisik dan spiritual.

Masyarakat menjaga kelestarian alam gunung merapi dan laut selatan. Ternyata, Gunung Merapi dan Laut Selatan menyimpan bahaya besar namun juga memberi kehidupan. Masyarakat hidup dengan memanfaatkan segala kekayaan alam di gunung merapi dan laut selatan. Maka, Mitos bermunculan dalam menjaga kelestarian alam. Ini merupakan usaha secara fisik. Masyarakat juga menyelenggarakan ritual-ritual tertentu agar “penguasa” gunung merapi dan “penguasa” laut selatan menjadi senang sehingga tidak murka dan memberi kebaikan ke masyarakat sekitar. Ini menjadi cara hidup “berdampingan” secara spiritual.

Masyarakat melakukan usaha fisik dan spiritual dengan inisiatif sendiri ketika belum ada intervensi dari ilmu pengetahuan. Akhirnya, Masyarakat Jogja mengenal Ilmu pengetahuan seperti vulkanologi, ilmu bumi, ilmu tanah, geologi dan oseanografi. Masyarakat Jogja menjadi paham bahwa ada penjelasan ilmiah pada setiap mitos. Masyarakat mulai berpikir logis tanpa meninggalkan mitos. Logika itu bersifat tetap, inklusif dan universal. Logika bersifat netral maka seperti “pedang bermata dua” yang menimbulkan manfaat dan kerugian secara bersamaan. Manusia menjadi semakin eksploitatif terhadap alam seperti: penambangan pasir, alih fungsi lahan atau penggundulan hutan. Masyarakat tradisional tidak akan berani mengeksploitasi secara berlebihan karena mitos. Kerusakan alam juga bisa diperbaiki dengan menggunakan logika pula melalui ilmu tanah, geologi, ilmu pertanian dsb. Manusia memiliki tantangan di masa depan yaitu “demitosisasi tanpa merusak alam”.

Masyarakat modern berawal dari masyarakat tradisional yang melewati fase mitos menuju fase logis. Masyarakat yang terbuka akan menjadi fase logis. Sebaliknya, Masyarakat yang tertutup tidak akan pernah mencapai fase logis dan modern karena logika membutuhkan rasa ingin tahu yang besar. Hal itu bisa diwujudkan hanya dengan pemikiran terbuka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *