Baiat Menurut Islam

Baiat berasal dari kata Arab yaitu baa’a (janji setia) dan baya’a (jual beli). Baiat merupakan janji untuk mentaati dan setia kepada pemimpin dalam keadaan apapun. Muslimin melakukan baiat kepada Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidun dan para khalifah dari berbagai daulah Islam. Muslimin melakukan baiat kepada Khalifah yang berkuasa di wilayah Islam .

Baiat diperbolehkan dalam Islam berdasarkan hadits yaitu:

Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ ketika menjadi penguasa Hurrah pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah kemudian ia berkata, “ambilkanlah bantal untuk Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar)”, lalu Abdullah bin Umar berkata, “Aku datang kepadamu bukan untuk duduk, aku datang untuk menyampaikan hadis yang aku dengar dari Rasulullah Saw, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (tidak taat kepada Khalifah) niscaya dia akan menemui Allah tanpa mempunyai alasan, dan barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada baiat (janji setia kepada Khalifah) maka dia mati dengan kematian jahiliyyah”.(HR. Muslim).

Telah meriwayatkan “Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan pada kami, Laits bin Ubaidillah bin Nafi’ telah menceritakan pada kami, dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi Saw, beliau bersabda, “wajib atas seorang muslim patuh dan taat (kepada imam), pada apa yang ia senangi dan tidak ia senangi selama tidak diperintahkan untuk durhaka, jika ia diperintahkan untuk durhaka maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan”.” (HR. Muslim).

“Muhammad bin Mutsana bin Basyar telah menceritakan kepada kami—lafal hadis dari Ibnu Mutsana—ia berkata: Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari Zubaid, dari Sa’id bin ‘Ubaidah, dari Abi ‘Abdi-Rahman, diriwayatkan dari Ali bahwasannya Rasulullah SAW mengutus pasukan dan memerintahkan seseorang di antara mereka untuk menyalakan api, kemudian laki-laki  berkata: Masuklah kalian ke dalam api. Lalu sebagian orang hendak masuk ke dalam api, dan sebagian yang lain berkata: Sesungguhnya kami telah melarikan diri darinya (masuk ke dalam api). Peristiwa tersebut selanjutnya diceritakan kepada Rasulullah Saw kemudian beliau berkata terhadap orang-orang yang hendak masuk ke dalam api tersebut: Sekiranya kalian masuk ke dalam api maka kalian akan senantiasa berada di dalamnya sampai hari kiamat. Selanjutnya Rasulullah Saw berkata kepada kelompok yang melarikan diri dari api dengan perkataan yang baik dan bersabda: “Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Khalik (Allah subhanahu wa ta’ala) sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan”.” (HR. Muslim).

Berdasarkan beberapa dalil di atas maka disimpulkan bahwa baiat adalah janji setia kepada pemimpin / khalifah yang menggunakan asas Islam dan menegakkan syariat Islam. Muslimin melakukan baiat kepada Rasulullah Saw karena para sahabat mengakui sebagai khalifah (pemimpin). Berkebalikan, Pemimpin membaiat para anggota di era modern. Baiat sering disalahgunakan untuk tujuan tertentu bagi kepentingan kelompok. Hal ini sering berdampak buruk  seperti menuduh kafir bagi yang tidak berbaiat kepada imam kelompok sehingga sampai menghalalkan darah orang yang keluar dari kelompok. Muslimin tidak dibenarkan untuk berbaiat terhadap kelompok tertentu.

Rasulullah SAW membaiat dengan menjabat tangan sahabat laki-laki yang berisi mengenai janji setia kepada Rasulullah SAW. Kaum wanita dibaiat dengan perkataan tanpa jabat tangan bagi kaum wanita oleh  Rasulullah SAW. Ada dua peristiwa baiat yang cukup terkenal di zaman Rasulullah SAW masih hidup nyaitu Baiat Aqabah I dan Baiat Aqabah II.

Penduduk Madinah yang berjumlah 12 orang menemui Rasullah SAW di Aqabah. Mereka menyatakan menjadi muslim dan mengajak Nabi untuk ke Yastrib/Madinah. Mereka berpikir bahwa Rasulullah SAW yang mampu menyelamatkan Madinah dari kemelut perpecahan dan pertumpahan darah yang berlangsung selama 40 tahun. Kemudian, Rasulullah SAW menyampaikan dasar-dasar agama Islam. Akhirnya, 12 penduduk Madinah melakukan baiat kepada Rasulullah SAW berbaiat untuk mengukuhkan keimanan. Berbaiat dengan cara saling memegang tangan erat-erat dan tangan Nabi berada di atas tangan mereka.

berdasarkan riwayat Ubadah ibn Shamit, salah seorang peserta baiat, mereka mengucapkan kata-kata sebagai berikut,

“Kami berbai’at dengan Rasulullah di malam Aqabah yang pertama: bahwa kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak akan mencuri (korupsi), tidak akan berzina (prostitusi) tidak akan membunuh anak-anak (aborsi), tidak akan menyiarkan kabar bohong di antara sesama kami dan tidak akan mendurhakainya (Rasul) dalam hal yang ma’ruf.”

Rasulullah SAW mengutus Mush’ab bin Umair untuk berdakwah Islam di Madinah setelah Baiat Aqabah pertama. Mush’ab bin Umair diutus untuk mengajarkan kepada penduduk Madinah. Penduduk Madinah yang memeluk Islam semakin bertambah. Penduduk Madinah sejumlah 70 orang laki-laki dan 2 orang perempuan di Madinah memeluk Islam berasal dari suku Aus dan suku Khazraj. Mereka menemui Rasulullah SAW di Makkah pada musim haji setelah Bai’at ‘Aqabah Pertama.

Mereka terdiri dari 73 orang laki-laki dan 2 orang wanita (Nusaibah binti Ka’ab & Asma’ binti ‘Amr bin ‘Adiy). Rasulullah SAW menemui mereka bersama  Al ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib. Al ‘Abbas ingin meminta jaminan keamanan bagi Nabi Muhammad SAW atas penduduk Yatsrib itu. Al ‘Abbas menjadi orang pertama yang angkat bicara kemudian disusul oleh Rasulullah SAW yang membacakan beberapa ayat Al Qur’an dan menyerukan tentang Islam.

  1. Untuk mendengar dan taat, baik dalam perkara yang mereka sukai maupun yang mereka benci.
  2. Untuk berinfak baik dalam keadaan sempit maupun lapang.
  3. Untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
  4. Agar mereka tidak terpengaruh celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah.
  5. Agar mereka melindungi Nabi Muhammad SAW sebagaimana mereka melindungi wanita-wanita dan anak-anak mereka sendiri.

Mereka melakukan baiat yang kedua di Aqabah. Peristiwa ini disebut Baiat Aqabah II yang dilakukan pada tahun ke-13 kenabian.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”

Muslimin melakukan baiat untuk terakhir kali bagi kekhalifahan Turki Utsmani yang ditumbangkan oleh Kamal Ataturk pada tahun 1924. Kekhalifahan Islam tidak eksis maka baiat menjadi tidak wajib. Baiat tidak boleh diberikan kepada pemimpin kelompok di zaman modern. Salafush-Shalih hanya melakukan baiat kepada penguasa daulah Islam. Imam, dari thariqah, jamaah, atau yang sejenis tidak dapat diberi baiat karena tidak memiliki wilayah dan kekuasaan. Baiat seperti itu memecah-belah umat.

Imam yang disepakati oleh Ahlul Hali Wal-‘Aqdi (tokoh-tokoh kaum muslimin) dan memiliki wilayah dan kekuasaan serta menegakkan syariat. Muslimin yang telah berbaiat wajib taat kepada imam yang disepakati ini dalam keadaan suka, benci, berat dan susah. Muslimin yang telah berbaiat tidak boleh melakukan pemberontakan. Apabila memberontak maka dosa besar.

Beberapa muslimin salah memahami hadits tersebut mengenai kewajiban baiat kepada imam muslimin. Hadist tersebut menyatakan bahwa baiat ditujukan kepada imam yang yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud, mengumumkan perang maupun damai sehingga melepaskan baiat merupakan dosa besar

Baiat bukan termasuk rukun Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, antara lain:

 “Dari Thawus, sungguh seorang laki-laki berkata kepada Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Tidakkah Anda berperang?”, maka dia berkata: “Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Sesungguhnya Islam dibangun di atas lima (tonggak), syahadat Laa ilaaha illa Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji’.” (HR Muslim, no. (16)-22).

Syaikh Nazhim Muhammad Sulthan -hafizhahullah- berkata: “Hadits ini memiliki urgensi yang besar, karena memberikan penjelasan dasar-dasar dan kaidah-kaidah Islam, yang Islam dibangun di atasnya”. Rukun Islam menjadi pembeda antara muslim dan non muslim. Seorang manusia dinilai dari amal lahiriah sehingga manusia dianggap sebagai muslim jika telah mengucapkan syahadat dan menjalankan shalat, serta tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan Islam, Adapun keyakinan hati diserahkan kepada Allah Ta’ala. Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “seorang kafir mengatakan ‘asy-hadu an-lâ ilâha illallah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasûluhu ketika mengatakannya dalam keadaan dewasa, sehat dan berakal maka dia seorang muslim. Jika dia menampakkan kekafiran, maka menjadi orang murtad”.

Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut. Syekh An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka mati dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam”. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan maksiat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *